MENUJU KOTA BEKASI YANG LEBIH BERSIH
Oleh : Sholahudin Malik, S.Ag, M.Si
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al-Baqarah: 222)
Pada tanggal 8 Juni 2010, Presiden SBY menyerahkan Piala Adipura kepada Wali Kota Bekasi di Istana Negara. Penyerahan Piala Adipura tersebut, diberikan juga kepada beberapa daerah di Indonesia, yang diterima langsung oleh masing-masing kepala daerah dalam rangka hari lingkungan hidup sedunia. Upaya Pemkot menjadikan kota terbersih patut diapresiasi mengingat sebelumnya Kota Bekasi belum pernah mendapatkan piala adipura. Segala upaya untuk menjadikan Kota Bekasi yang Bersih itu sulit terwujud, tanpa partisipasi kita sebagai masyarakat Bekasi sendiri. Masyarakat Kota Bekasi seperti juga rakyat Indonesia pada umumnya, mayoritas menganut agama Islam. Islam yang kita anut ini adalah agama komprehensif (kaffah). Ajarannya menyentuh segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya tentang kebersihan. Tidak ada agama yang mengajarkan secara detil tentang kehidupan manusia kecuali Islam.
Namun, kita harus akui secara jujur bahwa ternyata dalam aspek perilaku masyarakat muslim, masih banyak yang belum sesuai sebagaimana yang dikehendaki ajaran Islam itu sendiri. Sementara di negara negara-negara maju seperti Australia, Amerika, Kanada kebersihan menjadi sangat membumi, aplikatif dan mengagumkan, padahal tidak didukung oleh dogma agama yang menyertainya. Ini artinya mental, kebiasaan, sosialisasi, doktrin agama, kesejahteraan ekonomi dan peraturan menjadi satu kesatuan utuh, untuk membentuk karakter masyarakat yang mencintai kebersihan. Diharapkan dengan tulisan singkat ini dapat memberikan pemahaman dan pencerahan, terhadap masyarakat yang selama ini terkesan kurang memperhatikan aspek kebersihan, dan belum menyadari bahwa kebersihan telah menjadi bagian dari keimanan kita.
Kebersihan Dalam Islam Dalam Islam
kebersihan memiliki tempat yang sangat penting, hingga Rasulullah SAW bersabda “Ath-Thohuuru syathrul Iman” (kesucian itu adalah sebagian dari iman). Bahkan dalam kitab-kitab fiqih pun, para ulama selalu menempatkan “Bab Thaharah” (Bab tentang kesucian) pada bab pertama dalam kitab-kitab mereka. Kesucian dan kebersihan yang terdapat dalam islam mempunyai dua sisi; kebersihan fisik dan kebersihan batin. Kebersihan fisik dapat dilihat dari bagaimana suatu ibadah yang bercampur najis tidak dianggap sah.
Dalam hal wudhu saja, kebersihan fisik menyentuh anggota tubuh yang penting. Sebab dalam wudhu, air akan membasuh lima panca indera manusia yang vital, seperti mata (indera penglihatan), hidung (indera penciuman), telinga (indera pendengaran), mulut dan lidah (indera perasa), dan kulit (indera penyentuh). Demikian juga kewajiban mandi wajib bagi orang yang junub atau bersih dari haidh dan nifas. Belum lagi perintah sunnah mandi pada moment-moment penting berkumpul dengan manusia, seperti shalat jum’at, shalat id dan lain sebagainya. Dari sisi kebersihan batin, ibadah wudhu mengisyaratkan pesan agar anggota tubuh yang penting itu dijaga dari segala macam kemasksiatan. Mata, telinga, hidung, lidah, kulit hanya boleh digunakan pada pekerjaan yang mendatang keridhoan Allah SWT.
Mengapa Allah SWT mewajibkan kita bersuci? Karena Allah SWT mencintai orang yang mensucikan diri. Firman Allah SWT: ”Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” Jika Allah SWT menyukai manusia selalu mensucikan dirinya, itu karena Allah SWT menciptakan kita di awal kejadian, dalam keadaan suci. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Setiap manusia yang dilahirkan itu dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanya yang menyebabkan dia bersikap Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR; Muslim).
Mengapa Orang Sulit menjaga kebersihan ?
Di negara dunia ketiga seperti Indonesia, kalau mau dilihat secara mendalam ada beberapa faktor yang menyebabkan orang kurang menyadari pentingnya kebersihan :
1. Kemiskinan
Kemiskinan bisa menjadi salah satu penyebab, mengapa ajaran tentang kebersihan tidak teramalkan secara utuh. Pada hadits yang lain Nabi mengatakan bahwa “Kemiskinan memperdekat ke kekufuran”. Kufur artinya ingkar dan dalam konteks hadits ini mengisyaratkan, bahwa seseorang bisa mengingkari, dalam pengertian mengabaikan ajaran agamanya - termasuk ajaran tentang kebersihan - bila kondisinya miskin. Perhatikanlah misalnya, warga kota yang karena kemiskinannya tinggal di kawasan yang disebut slum ( kawasan kumuh), mereka pada umumnya lebih bergulat memenuhi kebutuhan primer keluarganya ketimbang memikirkan kebersihan lingkungannya. Akibatnya, sampah berserakan dan kakus dibuat seadanya, yang bisa mengundang berbagai penyakit.
2. Kurangnya Anggaran Kebersihan
Di beberapa negara, kota-kota tidak mempunyai anggaran memadai yang dapat dialokasikan untuk menjaga kebersihan lingkungan. Petugas kebersihan kurang jumlahnya dan truk pengangkut sampah juga terbatas jumlahnya. Kondisi itu membuat kota tidak selalu bersih. Sebaliknya, sebuah kota yang kaya seperti Sydney, mampu menjaga lingkungan yang bersih, pembangunan jalan raya dirancang sedemikian rupa sehingga tidak ada rumah penduduk yang tidak bisa dilalui truk pengangkut sampah. Dalam hal pengelolaan sampah rumah tangga, setiap keluarga membuang sampah ke dalam tempat sampah yang dibuat menurut diameter tertentu. Pada hari-hari tertentu tempat sampah itu diletakkan di atas trotoar di depan rumah untuk kemudian dipungut sampahnya oleh petugas kebersihan - biasanya lewat tengah malam.
Petugas memungut sampah itu dengan menggunakan truk yang memiliki ‘tangan mekanik ’ yang bisa mengangkat tempat sampah ke atas truk, mengucurkan isinya dan meletakkannya kembali pada tempatnya. ‘Tangan mekanik’ itu dikendalikan sendirian oleh sang sopir dari tempat duduknya. Jadi proses memungut sampah itu hanya dilakukan satu orang, tidak ‘padat karya’ seperti di negeri kita yang membuat anggaran semakin besar. Di tempat yang telah ditentukan sampah-sampah itu disortir menurut jenisnya (kertas, kardus, kaleng, plastik, kaca dan sebagainya ) untuk kemudian didaur ulang (recycling). Surat kabar The Sydney Morning Herald misalnya, dicetak di atas kertas hasil daur ulang itu. Konsep daur ulang itu sudah tentu tidak secara cepat menguras sumbar daya alam. Kebutuhan akan kertas, tidak selalu dipenuhi dengan cara membabat hutan.
3. Kurangnya Sosialisasi
Mensosialisasikan budaya bersih terutama di kota-kota haruslah dijadikan program yang anggarannya dialokasikan dalam APBD setiap kota. Sosialisasi itu sebaiknya melalui Tri Pusat Pendidikan, yaitu rumah tangga. sekolah dan masyarakat. Di rumah tangga, kedua orang tua haruslah menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam menjaga kebersihan. Tempat sampah harus disediakan, termasuk di kamar tidur anak-anak. Semua sampah betapa pun kecilnya harus dibuang di tempat sampah tadi, dan aturan ini berlaku bagi seluruh anggota keluarga.
Di sekolah, upaya di rumah tangga diteruskan dengan guru sebagai motivator. Harus diciptakan lingkungan yang bersih dan setiap pelanggaran harus diberi sanksi, betapapun ringannya sanksi itu. Misalnya, si murid disuruh memungut kembali sampah yang dibuangnya dan memasukkannya ke dalam tempat sampah. Upaya menginternalisasikan budaya bersih melalui keluarga dan sekolah itu akan lebih afdhol bila didukung oleh lingkungan masyarakat yang bersih. Bila tidak, si murid akan melihat kesenjangan antara apa yang dibiasakannya di rumah dan di sekolah dengan realitas yang terjadi di masyarakat, dan ini tidak menguntungkan bagi upaya pembentukan budaya lingkungan yang bersih.
Di sinilah para ulama, dai’, ustadz dapat memainkan peranannya. Sebagai tokoh yang paling sering bertatap muka dengan masyarakat, mereka diharapkan dapat membantu pemerintah dalam membangun budaya tersebut. Akan tetapi imbauan saja kadang-kadang kurang efektif. Maka peraturan daerah tentang kebersihan perlu ditegakkan dengan memberi sanksi bagi si pelanggar. Budaya bersih di negara-negara maju itu tidak tumbuh dengan sendirinya, tetapi didukung oleh penegakan hukum (law enforcement). Di London, si pembuang puntung rokok secara sembarangan dikenakan denda uang.
Bekasi dapat tampil menjadi kota yang lebih bersih. Adipura hanya sebagian kecil alat untuk menuju kota yang bersih, yang terpenting adalah kemauan kita sebagai masyarakat, yang secara substantif memang mencintai kebersihan dengan dukungan oleh ajaran agama. Hal ini harus kita mulai dari diri kita sendiri, kemudian berkembang pada masyarakat yang terkecil yaitu keluarga, kemudian membudaya pada masyarakat yang lebih luas. Semua ini akan menjadi bagian dalam proses pembentukan karakter bangsa. Sejalan dengan itu, pemerintah juga harus mengentaskan kemiskinan, memerangi kebodohan dan mensejahterakan rakyatnya sehingga tujuan ini akan lebih mudah tercapai, sesuai dengan visi kota Bekasi yang cerdas, sehat dan ihsan.
Tidak ada yang mudah mengimplemantasikan sebuah mimpi dan cita-cita untuk menjadi Kota Bekasi yang bersih, tetapi tidak akan sulit bila kita lakukan bersama-sama ; masyarakat, ulama, pendidik, dan aparatur pemerintah. Semoga kita semua menjadi insan beriman dengan mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat. Akhirnya tulisan ini kami tutup dengan Firman Allah : “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, apabila kaum itu tidak mau merubah dirinya sendiri”.
Penulis adalah : Dosen UPN “Veteran” Jakarta
dan Pengajar Pon. Pes YASFI Pondok Melati, Kota Bekasi