KASUS ROTI HANGUS "Refleksi Suatu Pengalaman"

Seorang Ahli pendidikan bertanya pada tiga orang ibu  yang ditunjuk dari para peserta sebuah pelatihan. Misalnya suatu pagi Anda sedang menyiapkan roti bakar untuk sarapan suami Anda, tiba-tiba telepon berdering, anak anda menangis, dan roti bakar jadi hangus. Lalu suami Anda berkomentar, ”Kapan kamu akan belajar memanggang roti tanpa menghanguskannya?”
Bagaimanakah reaksi Anda?


Ibu Pertama : ”Langsung saya lemparkan roti itu ke mukanya!”
Ibu Kedua     : ”Saya akan katakan padanya, ’Bangun dan bakar sendiri rotinya!
Ibu Ketiga     : ”Saya rasa saya akan menangis.”

 

”Lalu bagaimana perasaan anda terhadap suami Anda?”,  ”Benci dan marah  sekali.”
”Mudahkah bagi anda untuk menyiapkan roti bakar lagi pagi itu?” ,”Tentu saja tidak.”
Dan jika suami anda pergi bekerja, akan mudahkah bagi anda untuk membereskan rumah dan belanja kebutuhan sehari-hari? , “ Tidak,  Saya akan merasa sumpek sekali sepanjang hari”.


”Saya tidak akan membeli apapun untuk keperluan rumah hari itu.” Katakanlah bahwa roti itu memang hangus. Tetapi suami anda mengatakan kepada anda, ‘Tampaknya pagi ini kamu lelah ya..... sayang, telepon berdering, anak menangis, dan sekarang roti hangus’. Apa reaksi Anda?”  Saya tidak percaya bahwa yang berbicara itu suami saya, Saya akan merasa bahagia , Saya merasa senang dan bahagia.  Saya akan memeluknya” .

 

Mengapa anda gembira?  Bukankah anak tetap menangis,  telepon berdering,  dan roti sudah hangus...?” . “Kami tidak akan peduli dengan semua itu.”
“Lalu apa yang berbeda kali ini?”.  “Saya merasa suami saya baik sekali, karena tidak menyalahkan saya, melainkan  memahami perasaan saya. Dia berpihak pada saya, bukan memusuhi saya.”  Jika suami anda pergi bekerja, akan mudahkah bagi anda untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga?, ”Saya akan melaksanakan tugas-tugas saya dengan senang hati.”
” Sekarang, mari kita bicara tentang suami tipe ketiga. Setelah roti hangus, ia memandang istrinya sambil mengatakan,  ’Nih, saya ajari kamu cara membakar roti!”

 

Tidak .......Suami macam itu lebih buruk lagi dari yang pertama, sebab ia menganggap saya dungu ”Bagaimana kalau apa yang suami anda lakukan kepada anda itu, anda lakukan kepada anak-didik anda?
” Sekarang saya mengerti maksud anda. Saya memang selalu mengkritik anak-didik saya, Saya juga selalu mengatakan, ”Kamu bukan anak kecil lagi, sudah harus tahu apa yang kamu lakukan itu salah.” Saya sekarang tahu mengapa mereka marah dengan kata-kata saya.

 

Saya juga selalu mengatakan kepada anak-didik saya,  ”Nih, saya tunjukkan caranya”  Sering kali mereka tidak mau, bahkan marah saat mendengarkannya.”


Saya sering mengulang-ulang kalimat yang dulu diucapkan orang tua dan guru saya kepada saya. Dulu, saya juga sangat tidak suka mendengar kalimat itu. Tetapi sekarang,  ketika menjadi guru, saya  mengatakannya kepada anak didik saya.”

 

Kalau begitu, mari kita cari tahu yang mungkin kita pelajari dari kasus roti hangus ini. Apa yang membantu mengubah perasaan anda dari benci menjadi senang terhadap suami anda.

 

"Saya yakin sebabnya adalah karena suami tidak menyalahkan saya, tetapi dia memahami perasaan saya.”

 

Kebutuhan dasar manusia : Rasa dipahami tercapai. Dengan demikian merasa AMAN, BAHAGIA, BERNILAI DAN DICINTAI.” Karena dia tidak mencela saya.” Kebutuhan dasar manusia : Rasa dipahami tercapai. Dengan demikian merasa AMAN, BAHAGIA, BERNILAI DAN DICINTAI. ”Dia tidak mendikte saya”.  Kebutuhan dasar manusia : RASA DIPAHAMI tercapai. Dengan demikian merasa AMAN, BAHAGIA, BERNILAI DAN DICINTAI.

 

Apa yang anda inginkan dari suami anda, itulah yang diinginkan pula oleh anak-didik kita, yakni : pengertian dan empati.”  Demikianlah karakter guru yang humanistik dan konstruktivistik. Perannya bagaikan Pecinta Tanaman.